2. Ilmu Kalam

Juni 28, 2010

3. Dasar-dasar normatif ( al-Qur’an dan hadits ) dan penalaran filosofis tentang hakekat keimanan

          Mengkaji aliran-aliran Ilmu Kalam pada dasar merupakan upaya memahami kerangka berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya potensi yang dimiliki setiap manusia baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis-secara natural adalah sangat distingtif. Oleh sebab itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dan pemikiran lainnya dalam mengkaji suatu obyek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.

          Syekh Waliyullah Ad-Dahlawi pernah mengatakan bahwa para shahabat dan thabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji suatu masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan pendapat di antara mereka adalah terdapat beberapa shahabat yang mendengar ketentuan hukum yang diputuskan oleh Nabi Saw, sementara yang lain nya tidak. Shahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu berijtihad. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskankan suatu ketentuan hukum[1].

          Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat Syekh Waliyullah Ad-Dahlawi tampaknya lebih menekankan aspek subyek pembuat keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupapun pernah dikatakan oleh Imam Munawir bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilatar belakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat keputusan[2].

          Lain lagi dengan apa yang dikatakan oleh Umar Sulaiman  Asy-Syaqar, ia lebih menekankan aspek obyek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya ada tiga persoalan yang menjadi obyek perbedaan pendapat yaitu persoalan keyakinan ( aqidah ), persoalan Syari’ah dan persoalan Politik[3].

          Bertolak dari ketiga pandangan tersebut diatas, perbedaan pendapat di dalam masalah obyek teologi sebenarnya berkaitan erat dengan cara  ( metode ) berfikir aliran-aliran Ilmu Kalam dalam menguraikan obyek pengkajian                  ( persoalan-persoalan kalam ). Perbedaan metode berfikir secara garis besarnya dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu “ metode berfikir rational “ dan  “ metode berfikir tradisional “.

          Metode berfikir rational ini memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut[4] :

a. Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yakni ayat yang qoth’i ( teks yang tidak di interprestasikan lagi kepada arti lain selain arti harfiyah ).

b. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.

 Adapun metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dhonni  ( teks yang boleh mengandung arti selain dari arti harfiyahnya ).

2. Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.

3. Memberikan daya yang kecil kepada akal.

Metode berfikir kedua macam tersebut diatas terutama yang menyangkut peranan akal dan wahyu dapat di gambarkan sebagai berikut[5] :

A. Kerangka berfikir teologi rational tentang peranan akal dan wahyu

        B. Kerangka berfikir teologi tradisional tentang peranan akal dan wahyu

          Gambar pertama memperlihatkan bahwa “ teologi rational “ memberikan peran yang sangat besar terhadap akal, sehingga dalam pandangan teologi ini akal dapat mengetahui Tuhan ( MT ), kewajiban mengetahui Tuhan     ( KMT ), mengetahui baik dan jahat ( MBJ ) serta kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat ( KMBJ ). Sedangkan gambaran yang kedua memperlihatkan bahwa “ teologi tradisional “ memberikan peranan yang kecil terhadap akal. Dari keempat hal yang telah disebutkan diatas tadi hanya mengetahui Tuhanlah yang dapat dijangkau oleh akal ( MT ) selebihnya diketahui oleh wahyu.

Aliran teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berfikir rational adalah “ Mu’tazilah “ , oleh karena itu Mu’tazilah lebih dikenal sebagai    “ aliran yang bersifat rational dan liberal “. Sedangkan teologi yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir tradisional adalah “ Asy’ariyah “.

Disamping pengategorian teologi rational dan teologi tradisional tersebut diatas, juga dikenal pula pengkategorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam antara lain[6] :

a. Aliran Antrosentris :

Aliran Antrosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat introkosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos, baik yang natural maupun yang supra natural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos, unsur supra natural dalam diri nya merupakan sumber kekuatannya dan tugas manusia adalah melepaskan unsur natural yang jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu mengupas kepribadian kemanusiaan nya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya. Orang yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya untuk membuang semua hasrat dan keinginannya. Sementara ketaqwaan nya lebih di orientasikan kepada praktek-praktek pertapaan dan konsep-konsep magis. Tujuan hidupnya bermaksud menyusun kepribadiannya ke dalam realita impersonalnya[7].

Fazlur Rahman Anshari menganggap manusioa berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah mereka yang berpandangan mistis dan statis. Pada hal manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakikat relitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal dating kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa potensi yang menjadikan mampu membedakan “ mana yang baik “ dan “ mana yang jahat “. Manusia yang memilih “ kebaikan “ akan memperoleh keuntungan melimpah ( surga ), sedang manusia yang memilih “ kejahatan “ ia akan memperoleh kerugian melimpah pula ( neraka ). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam kategori ini adalah “ Qodariyah “, “ Mu’tazilah “ dan  “ Syi’ah “ . 

b Aliran Teolog Teosentris :

Aliran Teolog Teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat supra kosmos, personal dan Ketuhanan. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini, ia dengan segala kekuasaan Nya mampu berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu ia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Manusia adalah ciptaan Nya sehingga harus berkarya hanya untuk Nya. Di dalam kondisinya yang serba relatif diri manusia adalah migran abadi yang segera akan kembali kepada Tuhan untuk itu manusia harus mampu meningkatkan keselarasan dengan realitas tertinggi dan transenden melalui ketaqwaan. Dengan ketaqwaan nya, manusia akan memperoleh kesempurnaan yang layak sesuai dengan naturalnya. Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal, yang mampu memancarkan atribut-atribut Ketuhanan dalam cermin dirinya. Kondisi semacam inilah yang pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang[8].

Manusia teosentris adalah manusia yang statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada Tuhan dan sikap kepasrahan itu menjadikan ia tidak mempunyai pilihan. Bagi nya, segala perbuatan pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Dengan cara itu Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat, Tuhan dapat saja memasukkan manusia jahat ke dalam keuntungan yang melimpah ( surga ). Begitu pula, Dia dapat saja memasukkan manusia yang taat ke dalam situasi serba rugi yang terus menerus    ( neraka ).

Aliran Teolog Teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat manusia bias dating sewaktu-waktu dari Tuhan. Oleh sebab itu, adakala nya manusia mampu melaksanakan suatu perbuatan tatkala ada daya yang dating kepada nya. Sebaliknya, ia tidak mampu melaksanakan sesuatu perbuatan apapun tatkala tidak ada daya yang datang kepada nya. Bahkan, manusia dapat di katakana tidak mempunyai daya sama sekali terhadap segala perbuatan nya. Dan aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini adalah  “ Jabariyah “.

c. Aliran Konvergensi atau Sintesis : 

Aliran Konvergensi atau Sintesis menggangap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus intrakosmos, personal dan impersonal, lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan, sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak dan sifat lain yang dikotomik. Ibnu Arabi menamakan sifat- sifat semacam ini dengan “ insijam al-azali “ ( prestabished harmony )[9]. Aliran ini memandang bahwa manusia adalah “ tajalli “ atau cermin asma dan sifat-sifat realitas mutlak itu. Bahkan seluruh alam ( kosmos ) termasuk manusia juga merupakan cermin asma dan sifat-sifat Nya yang beragam. Oleh sebab itu eksistensi kosmos yang dikatakan sebagai penciptaan pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat Nya yang azali.

          Aliran Konvergensi atau Sintesis memandang bahwa pada dasarnya, segala sesuatu itu selalu berada dalam ambigu ( serba ganda ), baik secara substansial maupun formal. Secara substansial, sesuatu mempunyai     nilai-nilai batin, huwiyah dan eternal ( qodim ) karena merupakan gambaran al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu tidak dapat di musnahkan, kecuali atas kehendak Nya yang mutlak. Secara formal, sesuatu mempunyai nilai-nilai zhahiri, inniyah dan temporal ( huduts )karena merupakan cermin al-Haq. Dan dari sisi ini, sesuatu dapat di musnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah profan dan relatif. Eksistensi nya sebagai makhluk adalah mengikuti “ sunnatullah “ atau  “ natural law “ ( hukum alam ) yang berlaku.

          Aliran ini berkeyakinan bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama antara daya yang transendental ( Tuhan ) dalam bentuk kebijaksanaan dan daya temporal ( manusia ) dalam bentuk tehnis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak tidak berpartisipasi dalam proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang transendental yang memproses sesuatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, ia memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan. Sebaliknya, ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya sementara ia sendiri telah berusaha melakukannya, maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya transcendental dan daya temporal. Konsekwensinya, manusia akan memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan, sebanyak andil temporal nya dalam mengaktualkan peristiwa tertentu.

          Kebahagiaan bagi para penganut Aliran Konvergensi atau Sintesis terletak pada kemampuan nya membuat pendulum agar selalu berada tidak jauh ke kakanan atau kekiri, tetapi tetap ditengah-tengah antara berbagai ekstrimitas. Dilihat dari sisi ini, Tuhan adalah sekutu manusia yang tetap atau lebih luas lagi bahwa Tuhan adalah sekutu makhluk Nya, sedangkan makhluk adalah sekutu Tuhan Nya. Ini karena, baik manusia atau makhluk merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan sebagaimana keterpaduan antara dzat Tuhan dan asma serta sifat-sifat Nya. Kesimpulannya, kemerdekaan berkehendak manusia yang profane selalu berdampingan dengan “ determinisme transendental “ Tuhan yang sacral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat di masukkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.

d. Aliran Nihilis :

           Aliran ini menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan kosmos. Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam suatu masyarakat yang serba kebetulan. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang buruk. Idealnya, manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia[10].


[1] . Sebagai contoh adalah peristiwa hajinya Rosulullah Saw dengan sebagian para sahabatnya. Sebagian sahabat menganggap bahwa memperpanjang pelaksanaan thowaf, sebagaimana yang mereka saksikan dari Nabi Saw, termasuk perbuatan sunnah. Sementara itu sebagian sahabat merasa ragu-ragu atau bimbang dalam menentukan persoalan ini. Lihat Waliyullah ad-Dahlawiy ( 1978 ). Al-Inshaf fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf, Beirut : Dar an-Nafis, hal : 15-30.

[2] . Imam Munawir pada tulisannya yang lain mencoba menganalisis bahwa latar belakang terjadinya perbedaan pendapat adalah adanya salah satu dari 10 ( sepuluh ) hal yang riskan konflik. Kesepuluh hal itu antara lain : 1) Pola Kepemimpinan ( Patten of Leadership ),    2) Sentimen Kesukuan ( Ethnic Group sentiment ), dan Membangun Keturunan, 3) Perbedaan Status dan Posisi ( Strata Sosial ), 4) Tingkat Pendidikan ( Educational Lavel ), 5) Kurang memahami Integritas Ajaran Islam, 6) Pengaruh dari alam fikiran, Kepercayaan dan Tradisi,   7) Adanya Penyakit Fir’aunisme, Akuisme, Vested Interest, Sehingga terjadi upaya mementingkan diri sendiri, 8) Pembagian Peranan ( Fungsional Distribution ), 9) Dampak Infiltrasi, dan 10) Dampak Penjajahan. Dan ini dapat di baca pada bukunya Imam Munawir ( 1985 ). Mengapa Umat Islam Dilanda Perpecahan, Surabaya : Bina Ilmu, hal : 38 – 43. Juga dapat dibaca pada bukunya Imam Mawardi yang lainnya ( T.th ). Asas-asas Kepemimpinan Dalam Islam, Surabaya : Usaha Nasional, hal : 39 – 92.

[3] . Umar Sulaiman al-Asyaqar ( Terj ) Abu Fahmi ( T.th ). Mengembalikan Citra dan Wibawa Umat : Perpecahan, Akar Masalah dan Solusinya, Jakarta : Wacana Lazuardi Amanah, hal : 39 – 55.

[4] . Yunan Yusuf ( 1990 ). Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta : Panjimas, hal : 16 -17.

[5] . Harun Nasution ( 1986 ). Op. cit, hal : 86 – 87.

[6] . Muhammad Fazlur Rahman Anshari ( Terj ) Juniarso Ridwan dkk ( 1984 ). Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Bandung : Risalah, hal : 92.

[7] . Ibid, hal : 92.

[8] . Ibid, hal 92.

[9] . Asy-Syaikh al-Akbar Muhyi ad-Din bin Arabi ( T. th ). Fushush al-Hikam Komentar AR Nichplson, II, hal 22.

[10] . Ibid, hal : 92.

2. Ilmu kalam

Juni 28, 2010

2. Hubungan antara Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

     A. Titik Persamaan :

         Dalam ilmu Kalam, filsafat Filsafat[1] dan Tasawwuf mempunyai kesamaan obyek kajian. Obyek kajian “ Ilmu Kalamadalah Ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Nya. Sedangkan obyek kajian “ Filsafat “ adalah masalah-masalah Ketuhanan di samping masalah alam, manusia dan segala sesuatu yang ada[2]. Sementara itu obyek kajian “ Tasawwuf “ adalah Tuhan yakni upaya-upaya pendekatan terhadap Nya. Jadi bila dilhat dari aspek obyeknya ketiga ilmu tersebut diatas membahas masalah yang berkaitan dengan  “ Ketuhanan[3] .

          Argumentasi Filsafat-sebagaimana Ilmu Kalam-dibangun diatas logika. Oleh karena itu, hasil kajiannya bersifat “ Spekulatif “ ( tidak dapat dibuktikan secara empiris, reaserch dan eksperimen )[4]. Kerelatifan hasil karya logika itu menyebabkan beragamnya kebenaran yang dihasilkannya.

          Baik Ilmu Kalam, Filsafat maupun Tasawwuf berusaha dengan hal yang sama yaitu kebenaran. “ Ilmu Kalam “ dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan Nya. “ Filsafat “ dengan wataknya sendiri pula berusaha menghampiri kebenaran baik tentang alam maupun manusia ( yang belum atau tidak dapat di jangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada diluar atau diatas jangkauan nya ) atau tentang Tuhan. Sementara “ Tasawwuf “ juga dengan metode nya yang tipikal berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.  

     B. Titik Perbedaan :

          Perbedaan diantara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek “ metodologinya “ ; “ Ilmu Kalam “ sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama yang sangat tampak nilai-nilai apologinya.

          Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika  ( jadaliah ) dikenal dengan istilah “ dialog keagamaan “ . Oleh karena sebagai sebuah dialog keagamaan maka Ilmu Kalam ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argument-argumen rational. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rational[5].

          Sementara itu “ Filsafat “ adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rational, metode yang digunakan nya pun adalah metode rational. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan           ( mengembarakan atau mengelanakan )  akal budi secara radikal ( mengakar ) dan integral ( menyeluruh ) serta universal ( mengalam ) tidak merasa terikat oleh ikatan apapun terkecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama “ logika[6].

          Dengan demikian peranan filsafat sebagaimana yang di katakana oleh Sockrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep ( the gaining of conceptual clarity ).

          Berkenaan dengan keberagamaan kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika maka dalam filsafat dikenal apa yang disebut “ Kebenaran Korespondensi “ . Dalam pandangan “ Kebenaran Korespondensi “ bahwa  “ kebenaran “ adalah persesuaian antara pernyataan fakta dan data itu sendiri atau dengan bahasa yang sangat sederhana bahwa “ kebenaran “ adalah persesuaian antara apa yang ada di dalam ratio dengan kenyataan sebenarnya di alam nyata[7]. Di samping kebenaran korespondensi, di dalam filsafat juga di kenal kebenaran ” koherensi ”. Dalam pandangan koherensi, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan sesuatu pertimbangan yang telah dilakukan kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi kebenaran di anggap tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama umum[8].

           Di samping dua macam kebenaran tersebut di atas, di dalam filsafat dikenal juga kebenaran ” pragmatik ” [9]. Dalam pandangan pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat ( utility ) dan mungkin dapat di kerjakan ( workability ) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu itu akan di anggap tidak benar kalau tidak tampak manfaatnya secara nyata dan sulit untuk di kerjakan.

          Adapun “ Ilmu Tasawwuf  “ adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada ratio oleh sebab itu Filsafat dan Tasawwuf sangat distingtif  ( berbeda ). Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, Ilmu Tasawwuf bersifat subyektif yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya bahasa Tasawwuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek ratio, karena hal ini pengalaman rasa sangat sulit dibahasakan. Pengalaman rasa lebih mudah dirasakan langsung oleh orang yang ingin memperoleh kebenarannya dan mudah di gambarkan dengan bahasa lambang sehingga sangat interpretable ( dapat di interpretasikan bermacam-macam ).

           Ada sebagian pakar yang mengatakan bahwa metode Ilmu Tasawwuf adalah intuisi atau ilham atau inspirasi yang datang dari Tuhan. Kebenaran yang dihasilkan Ilmu Tasawwuf di kenal dengan istilah “ Kebenaran Hudhuri[10] , yaitu suatu kebenaran yang obyeknya datang dari dalam diri subyek sendiri. Itulah sebabnya dalam sains dikenal istilah obyek “ Swa “ atau “ obyeknya tidak obyektif “ . Ilmu seperti ini dalam sains dikenal dengan “ ilmu yang diketahui bersama “ atau “ Tacit Knowledge “ dan bukan ilmu professional.

          Di dalam pertumbuhannya Ilmu Kalam ( teologi ) berkembang menjadi “ teologi rational[11] dan “ teologi tradisional[12]. Filsafat berkembang menjadi “ sains “ dan “ filsafat “  itu sendiri, “ sains “ berkembang menjadi kealaman, sosial dan humaniora; Sedangkan “ filsafat “ berkembang lagi menjadi filsafat klasik, pengetahuan dan filsafat modern. Tasawwuf selanjutnya berkembang menjadi “ tasawwuf praktis[13] dan “ tasawwuf teoritis[14].

          Jika dilihat dari aspek aksiologi ( manfaatnya ) teologi diantaranya berperan sebagai ilmu yang mengajak orang baru untuk mengenal ratio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rational. Adapun filsafat lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai ratio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistem nya langsung. Adapun tasawwuf lebih berperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rationya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin dicarinya.

          Bahkan sebagian orang memandang bahwa ketiga ilmu tersebut diatas itu memiliki jenjang tertentu, yang pertama adalah “ Ilmu Kalam “ kemudian “ Filsafat “ dan yang terakhir adalah “ Ilmu Tasawwuf “ . Oleh sebab itu merupakan suatu kekeliruan apabila dialektika kefilsafatan atau tasawwuf teoritis diperkenalkan kepada masyarakat awam karena akan berdampak pada terjadinya “ rational jumping “ ( lompatan pemikiran ).

      C. Titik Singgung antara Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawwuf :

          Ilmu Kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan Kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan                dasar-dasar argumentasi baik rational ( aqliyah ) maupun naqliyah.

          Argumentasi rational ( aqliyah ) yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits.

          Ilmu Kalam sering menempatkan diri nya pada kedua pendekatan ini ( aqli dan naqli ) suatu metode argumentasi yang dialektik, jika pembicaraan Ilmu Kalam ini hanya berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam tanpa argumentasi rational, ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri dengan istilah Ilmu Taukhid atau Ilmu Aqo’id.

          Pembicaraan materi yang tercakup dalam Ilmu Kalam terkesan tidak menyentuh dzauq ( rasa rohani ), sebagai contoh Ilmu Taukhid menerangkan bahwa Allah Swt itu bersifat Sama’ ( mendengar ), Bashor ( melihat ), Kalam       ( berbicara ), Irodah ( berkemauan ), Qudrat ( kuasa ), Hayat ( hidup ) dan sebagainya. Namun, Ilmu Kalam atau Ilmu taukhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah Swt mendengar dan melihat nya; Bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca al-Qur’an; Dan bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari Qudrah ( kekuasaan ) Allah Swt ?.

          Pertanyaan ini sulit terjawab apabila melandaskan diri pada Ilmu Taukhid atas Ilmu Kalam. Biasanya yang membicarakan tentang penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah Ilmu Tasawwuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai aqidah dengan memperhatikan bahwa persoalan tadzawwuq ( bagaimana merasakan ) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunnah atau dianjurkan tetapi justru termasuk hal yang diwajibkan.

          As-sunnah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap masalah tadzawwuq. Ini tampak pada hadits Rosulullah Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi dikutip dari Said Hawwa artinya sebagai berikut :  ” Yang merasakan iman adalah orang yang ridha kepada Allah Swt sebagai Tuhan, ridha kepada Islam sebagai agama, dan ridha kepada Muhammad sebagai Rasul[15]  . Dalam hadit lain Rosulullah Saw pun pernah mengucapkan : ” Ada tiga perkara yang mengakibatkan seseorang dapat merasakan lezatnya   iman : Orang yang mencintai Allah Swt dan Rosul Nya lebih dari yang lain ; Orang yang mencintai hamba karena Allah Swt ; dan orang yang takut kembali kepada kekufuran, seperti ketakutannya untuk di masukkan ke dalam api neraka ”.

          Pada Ilmu Kalam ditemukan pembahasan Iman dan definisinya, kekafiran dan manifestasinya serta kemunafikan dan batasannya. Adapun pada ilmu tasawwuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, serta upaya menyelamatkan diri dari kemunafikan. Tidaklah cukup bagi seseorang yang hanya mengetahui batasan-batasan kemunafikan pun tetap saja melaksanakannya. Sebagaimana Allah Swt berfirman surat al-Hujurat ( 49 ) ayat 14 yang berbunyi :

قَالَتِ الاْ َعْرَابُ اَمَنَّا قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلَكِنْ قُوْلُوْا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلُ الاْ ِيْمَنُ فِى قُلُوْبِكُمْ وَاِنْتُطِيْعُوْا اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ لاَيَلْتِكُمْ مِّنْ اَعْمَلِكُمْ شَيْئًا اِنَّ اللَّهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ 

Artinya : Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami Telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi Katakanlah ‘kami Telah tunduk’, Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” [16].

 

          Ath-Thabari dalam kitab al-Kabir meriwayatkan Hadits shahih dari Ibnu Umar ra Ia berkata : yang artinya :

 ” Pada suatu hari saya bersama-sama dengan Nabi Saw. Beliau di datangi oleh Hurmalah bin Zaid. Ia duduk di hadapan Nabi Saw seraya berkata : Wahai Rasulullah Saw, iman itu di sini ( seraya menunjukkan ke dadanya ). Kami tidak pernah mengingat Allah Swt, kecuali sedikit. Rasulullah Saw mendiamkannya, maka Hurmalah mengulangi ucapannya tadi, lalu Rasulullah Saw memegang Hurmalah seraya berdo’a : Ya Allah jadikanlah untuknya lisan yang jujur dan hati yang bersyukur, kemudian jadikan dia mencintai orang yang cinta kepadaku, dan jadikanlah urusannya baik. Kemudian Hurmalah berkata : Wahai Rasulullah Saw aku mempunyai banyak teman yang munafik, dan aku adalah pemimpin mereka, tidaklah aku akan memberi tahu nama-nama mereka kepadamu ?. Rasulullah Saw menjawab : Siapa yang datang kepada kami, kami akan mengampuninya sebagaimana kami mengampunimu, dan siapa yang berketetapan hati untuk melaksanakan agamanya, maka Allah Swt lebih utama baginya, janganlah menembus tirai ( hati ) seseorang[17].

          Dalam kaitannya dengan Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang  mendalam lewat hati ( dzauq dan wijan ) terhadap Ilmu Taukhid atau                  Ilmu Kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam prilaku. Dengan demikian, Ilmu Tasawwuf merupakan penyempurna Ilmu Taukhid jika dilihat bahwa Ilmu Tasawwuf merupakan sisi terapan rohaniah dari Ilmu Taukhid.

          Ilmu Kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf, oleh karena itu jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan aqidah atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan al-Qur’an dan As-sunnah, hal  itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah di riwayatkan dalam            al-Qur’an dan As-sunnah atau belum pernah di riwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus di tolak.

          Selain itu, Ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sdebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa Ilmu Kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional di samping muatan naqliyah. Jika tidak di imbangi oleh kesadaran rohaniah, Ilmu kalam dapat bergerak ke arah lebih liberal dan bebas. Di sinilah Ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga Ilmu Kalam itu tidak terkesan sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah ( hati ). 

          Bahkan amalan-amalan Tasawuf itu mempunyai pengaruh yang sangat besar sekali dalam ketaukhidan. Jika rasa sabar itu sudah tidak ada, umpamanya, maka muncullah ke kufuran. Jika rasa syukurnya itu sedikit, maka lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi. Begitu juga Ilmu taukhid dapat memberikan kontribusi kepada Ilmu Tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya Taukhid telah lenyap maka akan timbul penyakit-penyakit qalbu, seperti ujub, congkak, riya’ , dengki, hasut dan sombong. Seandainya manusia itu menyadari  bahwa Allah Swt yang memberi segala sesuatu itu, niscaya rasa hasud dan dengki itu akan sirna. Kalau saja dia tahu akan kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada rasa sombong. Kalau saja manusia itu menyadari bahwa dia    betul-betul sebagai hamba Allah Swt, niscaya tidak akan ada perebutan kekuasaan. Kalau saja manusia itu menyadari bahwa Allah Swt yang menciptakan segala sesuatu itu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya’. Maka dari sinilah dapat di lihat bahwa Ilmu taukhid itu merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah Swt ( pendakian para kaum sufi ).     

          Untuk melihat lebih lanjut hubungan antara Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Taukhid alangkah baiknya menengok paparan Imam Al-Ghozali dalam Kitabnya : “ Al-Maqhad al-Asna fi Syarah al-Asma Allah al-Husna “ , dimana Imam al-Ghozali telah menjelaskan dengan baik persoalan-persoalan taukhid kepada Allah Swt, terutama ketika menjelaskan nama-nama Allah Swt, materi pokok Ilmu Taukhid. Menurutnya nama Tuhan Ar-Rahman dan Ar-Rokhim pada aplikasi rohaniah nya merupakan sebuah sifat yang harus diteladani. Jika sifat   Ar-Rahman itu di aplikasikan seseorang akan memandang bahwa orang durhaka dengan kelembutan bukan kekasaran; melihat orang dengan mata Ar-Rokhim bukan dengan mata yang hina, bahkan ia mencurahkan ke-rakhim-an nya kepada orang yang durhaka agar dapat diselamatkan. Jika melihat orang lain menderita atau sakit, orang yang rakhim akan segera menolongnya[18]. Nama lain Allah Swt yang patut diteladani adalah al-Qudus ( Maha Suci ) seorang hamba akan  suci kalau berhasil membebaskan pengetahuan dan kehendaknya dari khayalan dan segala persepsi yang dimiliki binatang[19].

          Jadi dengan Ilmu Tasawwuf semua persoalan yang berada dalam kajian Ilmu Taukhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, akan tetapi lebih dinamis dan aplikatif. 


[1] . William L. Resee mengatakan bahwa filsafat itu berasal dari kata Yunani Philos dan Sophia. Philos artinya mencintai ( terhadap ) ; dan Sophia artinya Wisdom ( kebijaksanaan ). Filsafat diartikan juga dengan sahabat pengetahuan. Selanjutnya Ia mengatakan bahwa pengertian filsafat pada mulanya di gunakan oleh Phitagoras yang mengartikan bahwa manusia dapat di kategorikan dalam tiga tipe antara lain : 1 . manusia mencintai kesenangan          ( those who loved pleasure ), 2. manusia mencintai pekerjaan ( those who lpved activity ), dan 3 . manusia yang mencintai kebijaksanaan ( those who loved wisdom ). Menurutnya Wisdom disini adalah The concerned progress toward salvation in religious terms ( sesuatu upaya serius dalam mewujudkan perdamaian sebagaimana dikatakan dalam istilah-istilah agama ) Adapun Socrates menyatakan bahwa peranan filsafat adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep ( the gaining of conceptual clarity ). Lihat William L. Resee ( 1980 ).Op. cit, hal : 431.

[2] . Plato menyatakan bahwa obyek filsafat adalah menemukan kenyataan ( the discovery of realty ) atau kebenaran mutlak ( absolute truth ). Kedua hal itu biasa di kenal dengan istilah dialektika ( dialectic ). Aristoteles menyatakan bahwa pada mulanya filsafat merupakan kebijaksanaan, kemudian menjadi upaya menyelidiki sebab atau latar belakang dan prinsip-prinsip dari segala sesuatu ( concerned with the investigatian of couses and prinsiples of thing ). Prinsip atau unsur pokok disini adalah upaya mengidentifikasi seluruh ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kemanusiaan ( to be identical with the totality of human knowledge ). Aristoteles selanjutnya mengatakan bahwa filsafat yang pertama ( first philosophy ) dinamakan sebagai theology yang kajian utamanya berkenaan dengan sebab terakhir yang dikenal dengan istilah Yuhan ( concerned with ultimate principles and couses, wich includes the idea og god ).

[3] . Musthafa abdul Raziq ( 1959 ). Op. cit, hal : 266; William L. Resee ( 1980 ). Op.cit, hal : 431 ; Abdul Qodir Muhammad ( 1966 ). al-Falsafah ash-Shufiyah fi al-Islam : Massadiruha wa Nadhariyatuha wa Makanuha min             ad-Din wa al-Hayah, Beirut : Dar al-Fikr Multajam ath-Thab wa an-Nayr, hal : 45 ; Abul Wafa al-Ghanimi at-Taftazani ( Terj ) Ahmad Rafi Utsmani ( 1985 ). Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung : Pustaka Salman, hal : 91 – 92. 

[4] . Endang Saifuddin Anshari ( 1990 ). Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya : Bina Ilmu, hal : 174.

[5] . Philip Bob Coek Gove ( ed ) ( 1966 ). Webster’s third New Internasional Dictionary of The English Language Uni Bridge, USA : G & C Marvian Company Publishers,    hal : 2. 371.

[6] . Endang Saifuddin Anshari ( 1990 ). Op. cit, hal : 173.

[7] . Titus ( ed ) ( Terj ) H.M. Rosyidi ( 1984 ). Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, hal : 237.

[8] . Ibid, hal : 238.

[9] . Ibid, hal : 241.

[10] . Mahdi Ha’iri Yazdi ( Terj ) Ahsin Muhammad ( 1994 ). Ilmu Huduri, Bandung : Mizan, hal : 54 – 56.

[11] . Teologi  rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :

  1. Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas di sebut dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw, yakni ayat yang qoth’i ( teks yang tidak di interpretasi lagi kepada arti lain, selain arti harfiyah ).
  2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.

[12] . Teologi Tradisional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dhanni  ( teks mengandung arti lain selain dari arti harfiyahnya ).

b. Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.

c. Memberikan daya yang kecil pada akal.

[13] . Di sebut juga dengan tasawuf sunni atau akhlaki, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal ( keadaan ) dan maqamat ( tingkatan rohaniyah ) mereka kepada dua sumber tersebut. Baca Amin Syukur ( 1994 ). Rasionalisme dalam Tasawuf, Semarang : IAIN Wali Songgo,                   hal : 22.

[14] . Di sebut juga dengan tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya di sesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat tidak sepenuhnya dapat di katakan tasawuf ; dan juga tidak dapat sepenuhnya di katakan sebagai filsafat. Ibid,

[15] . Said Hawwa ( Terj ) Khairul Rafi’ dan Ibnu Thoha Ali ( 1997 ). Tarbiyatur ar-Ruhiyah, Bandung : Mizan, hal : 67.

[16] . Depag, RI ( 1982 ). Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah                                      Al- Qur’an, l : 848.

[17] . Said Hawwa ( Terj ) Khairul Rafi’ dan Ibnu Thoha Ali ( 1997 ). Op. cit,     hal : 68.

[18] . al-Ghozali ( Terj ) Ilyas Hasan ( 1998 ). al-Maqhad al-Asma fi Syarh  al-Asma Allah al-Husna, Bandung : Mizan, hal : 73 – 74.

[19] . Ibid, hal : 80.

2. Ilmu kalam

Juni 28, 2010

1. Sejarah timbulnya Ilmu Kalam

          Persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan ( aqidah ) akan tetapi persoalan politik[1] yang pada akhirnya meningkat menjadi persoalan teologi[2] ( kalam ) dan kemunculan persoalan kalam ini dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan ra yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah bin Abi Sufyan atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ra. Ketegangan antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib ra mengkristal menjadi Perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim ( arbitrase ). Sikap Ali bin Abi Thalib ra yang menerima tipu muslihat Amr bin al-Ash utusan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak di setujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat di putuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah Swt dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an .  لاَ حُكْمُ اِلاَّ اللَّهِ ( tidak ada hukum selain dari hukum Allah Swt ) atau لاَ حُكْم اِلَى اَللَّهَ( tiada perantara selain Allah Swt ) yang menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib ra telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam mereka terkenal dengan nama :  ” Khawarij ” yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri ( Kharaju ) atau secerders[3] .

           Di luar pasukan yang membelot Ali bin Abi Thalib ra, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali bin Abi Thalib ra. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah. Menurut W. Montgomery Watt, Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang di kenal dengan Perang Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali bin Abi Thalib ra terhadap arbitrase yang di tawarkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pasukan Ali bin Abi Thalib ra terpecah menjadi dua, satu kelompok pendukung sikap Ali bin Abi Thalib ra kelak di sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali bin Abi Thalib ra kelak di sebut Khawarij[4] .

          Lebih lanjut persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana telah disebutkan , memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim ( arbitrase ), yakni Ali bin Abi Thalib ra, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Musa al-Asy’ari  dan Amr bin al-Ash adalah kafir[5] berdasarkan firman Allah Swt surat al-Ma’idah ( 5 ) ayat 44 yang berbunyi :

اِنَّا اَنْزَلْنَا التَّوْرَةَ فِيْهَا هُدًى وَنُوْرٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّوْنَ الَّذِيْنَ اَسْلَمُوْا لِلَّذِيْنَ هَادوْا وَالرَّبَّنِيُّوْنَ وَالاْ َحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتَبِ اللَّهِ وَكاَنُوْا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلاَ تَخْشَوُاالنَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُوْا بِاَيَتِى ثَمَنًا قَلِيْلاً وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللَّهُ فَاوْلَئِكَ هُمُ الْكَفِرُوْنَ  

Artinya : “ Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya ( ada ) petunjuk dan cahaya ( yang menerangi ), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, ( tetapi ) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ”[6].

          Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi ( ilmu Kalam ) dalam Islam, yaitu :

1 . Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.

2 . Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah Swt untuk mengampuni atau menghukumnya.

3 . Alran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain ( posisi di antara dua posisi )[7] .

          Dalam Islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama ” Qodariyah ” dan ” Jabariyah ”. Menurut Qodariyah, manusia itu mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia itu tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya[8] .

          Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut madzhab Ibnu Hambal. Mereka yang menantang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari ( 935 M ). Disamping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini di dirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi ( W. 944 M ). Kemudian aliran ini terkenal dengan nama teologi al-Maturudiyah[9] .

          Jadi ketiga aliran tersebut diatas yaitu Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah sudah tidak mempunyai wujud lagi, terkecuali dalam bentuk sejarah. Sedangkan yang masih ada sampai sekarang adalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya di sebut Ahlussunnah Wal Jama’ah


[1] . Harun Nasution ( 1979 ). Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya, I, Jakarta : UIPress, hal : 92.

[2] . Harun Nasution ( 1979 ). Ibid,II, hal : 31.

[3] .W. Montgomery Watt ( Terj ) Umar Basalim ( 1987 ). Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Jakarta : P3M, hal : 10.

[4] . Ibid, hal : 6 – 7.

[5] . Harun Nasution ( 1979 ). Op.cit, II, hal : 31.

[6] . Depag,RI ( 1982 ). Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, hal : 167.

[7] . W. Montgomery Watt ( Terj ) Umar Basalim ( 1987 ). Op.cit,  hal : 8.

[8] . Ibid, hal : 9.

[9] . Ibid.

C. Pengertian Hukum Islam

          Istilah hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam al-Qur’an adalah kata Syari’ah, fiqih, hukum Allah Swt dan yang seakar dengannya. Sedangkan kata-kata hukum Islam itu sendiri merupakan terjemahan dari term Islamic Law dari litertur Barat[1], kemudian Hukum Islam menjadi istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-Fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari as-syari’ah                   al-Islamy yang penjabarannya disebut dalam istilah fiqihnya sebagai :

اِثْبَاتُ شَّئٍ عَلىَ اَوْ فقيه عنه

Artinya : “ Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu dari padanya ” .

 Atau dengan istilah yang lainya :

اِثْبَاتُ شَّئٍ عَلىَ شَيْئٍ

Artinya ”  Menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain ”.

          Maka para ulama ushul fiqih menetapkan suatu definisi hukum Islam antara lain :

١. خِطََابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِقُ بِأَفْعَالِ الْمَكَلِّفِيْنَ بِالاْ ِقْتِضَاءِ

 اَوِ التَّخْيِيْرِ اَوِ الْوَضْعِ

Artimya : “ Firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun bersifat wadl’i ” [2]. 

 

٢. خِطَابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِقُ بِأَفْعَالِ الْمَكَلِّفِيْنَ طَلَبًا اَوِ التَّخْيِيْرِ            اَوِ الْوَضْعاً

Artinya : “ Khitab ( tatah ) Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang bersifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntutan ( perintah dan larangan ) atau semata-mata menerangkan pilihan ( kebolehan memilih ) atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang terhadap sesuatu hukum “[3].

           Dengan demikian, kata Hukum Islam merupakan formulasi dari Syari’ah dan Fiqih sekaligus. Artinya, meskipun Hukum Islam merupakan formula aktivitas nalar, ia tidak bisa dipisahkan eksistensinya dari Syari’ah sebagai panduan dan pedoman yang datang dari Allah Swt sebagai al-Syar’i[4]. Oleh karena itu, penyebutan Hukum Islam sering dipakai sebagi terjemahan dari Syari’at Islam atau Fiqih Islam.

          Apabila Syari’at Islam diterjemahkan sebagai Hukum Islam ( Hukum in abstracto ), maka berarti syari’at Islam yang dipahami dalam makna yang sempit. Karena kajian Syari’at Islam meliputi aspek اَلاْ ِعْتِقَادِيَة , الخاقية dan الشرعية .  Akan tetapi sebaliknya bila hukum Islam menjadi terjemahan dari Fiqih Islam, maka hukum Islam termasuk kajian ijtihadi yang bersifat dzanni. Sedangkan pada dimensi lain penyebutan hukum Islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqih maupun belum. Kalau demikian adanya, maka kedudukan fiqih islam bukan lagi sebagai hukum Islam in abstracto ( pada tataran fatwa atau doktrin ) melainkan sudah menjadi hukum Islam in concreto ( pada tataran aplikasi atau pembumian ). Sebab, secara formal sudah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif, yaitu aturan negara yang mengikat dalam suatu negara. Namun demikian, agar mendapatkan pemahamana yang benar tentang hukum Islam, maka yang harus dilakukan menurut Muhammad Daud Ali adalah sebagai  berikut :

a. Mempelajari hukum Islam dalam kerangka dasar, dimana hukum Islam menjadi bagian yang utuh dari ajaran dinul Islam.

b. Menempatkan hukum Islam dalam satu kesatuan :

احكام الشرعية العملية , احكام الشرعية العملية الا عتقادية , احكام الشرعية الخاقية

c. Dalam aplikasinya saling memberi keterkaitan antara syari’ah dan Fiqih yang walaupun dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.

d. Dapat mengatur tata hubungan kehidupan, baik secara vertical maupun horizontal[5].

          Dengan paparan tersebut diatas, maka Istilah hukum Islam telah dipakai oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya ” Pengantar Hukum Islam ” dan A. Hanafi dalam bukunya ” Pengantar dan Sejarah Hukum Islam ”.  Hasbi     Ash-Shiddieqy membahas sebagian besar tentang Ushul Fiqih, sedangkan A. Hanafi membahas lebih banyak tentang Syari,ah, Fiqih dan Ushul Fiqih.

          Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Falsafah Hukum Islam telah mendefinisikan hukum Islam dengan ” Koleksi daya upaya para fuqaha’ dalam menerapkan Syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat ”[6] atau dengan kata lain :

 مَجْمُوْعُ مُحَاوَلاَتِ الْفُقَهَاءِ لِتَطْبِيْقِ الشَّرِيْعَةِ عَلَى حَاجَاتِ الْمُجْتَمَعِ

Pengertian ini tampaknya lebih relevan dengan pengertian Fiqih, Dengan demikian, maka hukum Islam berarti : ” seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam ”[7].

          Muhammad Daud Ali menyatakan, manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang dimaksud Syari’at Islam atau Fiqih Islam ? Syari’at Islam adalah hukum Islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan Fiqih adalah perumusan konkret Syari’at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu disuatu tempat dan di suatu masa[8]. Sedangkan Cik Hasan Bisri mengemukakan bahwa hukum Islam mencakup dimensi abstrak, yakni dalam wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya; dan bersifat ajeg di kalangan orang Islam sebagai upaya untuk melaksanakan titah Allah dan  Rasul-Nya[9].

          Hukum Islam sebagai unsur normatif dalam menata kehidupan manusia, berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap sumber ajaran agama Islam sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kedua sumber tersebut selanjutnya dijadikan patokan dalam menata hubungan antar sesama manusia dan antara manusia dengan makhluk Allah Swt lainnya.

          Karena hukum Islam dibangun atas prinsip taukhid, yang dengan prinsip itu ia memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi transformasi keyakinan terhadap kekuasaan dan kehendak Allah dan Rasulnya-Nya ke dalam nilai-nilai etik dan moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif. Prinsip ini menjadi dasar dan landasan dalam perumusan kaidah hukum yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan ( al-awamir ) dan apa yang dilarang atau mesti ditinggalkan ( al-nawahiy ) oleh manusia. Kedua, fungsi mengatur berbagai bidang kehidupan manusia yang di internalisasikan ke dalam pranata sosial yang tersedia, atau menjadi cikal bakal pranata sosial baru. Ketiga, fungsi mengikat manakala dilakukan transaksi ( uqubad ) di antara manusia baik antar individu ( al-ahwal al-syakhshiyyah ) maupun antara individu dengan masyarakat termasuk yang berhubungan dengan hak-hak kebendaan ( al-madaniyyah ), dengan berpatokan kepada hukum. Keempat, fungsi memaksa manakala ditetapkan oleh kekuasaan kolektif yang memiliki kelengkapan alat, dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara dan aparatur negara, seperti badan peradilan ( al-qadha’ )[10]. Selanjutnya ada beberapa dimensi hukum Islam berkaitan dengan graduasi dan kawasan hukum tersebut. Hal yang demikian karena hukum Islam merupakan wujud hukum yang konkret, dibandingkan nilai dan kaidah, dan berhubungan dengan yang memproduknya. Dimensi-dimensi tersebut yaitu : syari’ah, ilmu, fiqih, fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha dan adat. Kesembilan dimensi hukum Islam itu tumbuh dan berkembang di dunia Islam dan terinternalisasi dalam berbagai pranata sosial yang bercorak keislaman, terutama di Indonesia[11].

          Jadi dari definisi yang dikemukakan diatas dapat difahami bahwa hukum Islam itu mencakup Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqih, karena dua istilah yang dipakai untuk menunjukkan hukum Islam, yakni Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqih sudah termaktub di dalamnya.

          Dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam sering dipergunakan kata-kata hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fiqih Islam dipergunakan hukum fiqih atau kadang-kadang hukum ( fiqih ) Islam. Akan tetapi dalam prakteknya seringkali kedua istilah itu dirangkum dalam kata ” Hukum Islam ” tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Ini sangat dipahami karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat yang dapat dibedakan akan tapi sulit untuk dipisahkan.


[1]. Dimana telah menjelaskan bahwa : “ Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah Allah Swt yang mengatur prilaku kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspeknya “. Dari definisi ini arti sebenarnya hukum Islam lebih dekat dengan Syari’at Islam, Joseph Schacht ( Terj ) Joko Sopomo ( 2003 ). Pengantar Hukum Islam, Jakarta : Islamika,  hal : 1.

[2] . Al-Baidhawi ( 1982 ). Minhaj al-Ushul, I, Bairut : Alam al-Kutub, hal : 47.

[3] . Muhammad Abu Zahrah ( 1994 ). Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, hal : 26.

[4] . Ahmad Rofiq ( 2001 ). Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,  Jogyakarta : Gema Media, hal : 23.

[5] . Zainuddin Ali ( 2006 ). Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,                hal : 2 – 3.  

[6] . Hasbi Ash-Shiddieqy ( 1975 ). Falsafah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hal : 44.

[7] Amin Syarifuddin ( 1990 ). Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, hal : 18.

[8] . Muhammad Daud Ali ( 1989 ). Kedudukan Hukum Peradilan Agama Dalam UUD 1945, Jakarta : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, hal :  28.

[9] . Cik Hasan Basri ( 2001 ). Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Bandung : Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, hal : 29.

[10] . Ibid, hala : 33-34.

[11] . Ibid, hal : 34.

A. Pengertian Filsafat menurut Etimologi

          Kata filsafat diambil dari bahasa Arab “ falsafat “ atau “ falsafah “. Orang Arab sendiri mengambilnya dari bahasa Yunani : Philosophia. “ Dalam bahasa Yunani kata filosofia itu merupakan kata majemuk yang terdiri dari filo dan sofia “[1]. Kata tersebut dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar yang diturunkan dari kata “ philosophia[2], dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “ philosophy “. Kata philosophia terdiri dari kata “ philein “ yang berarti cinta = love dan “ sophia “ yang berarti kebijaksanaan = wisdom[3], yang melahirkan kata Inggris “ Philosophy “ biasa nya di terjemahkan sebagai “ cinta kearifan “[4]. Dan ada juga yang berpendapat bahwa falsafah itu berasal dari kata    “ philos “  atau “ philo “ yang memiliki arti cinta, senang, gemar, kekasih, bisa juga diartikan sebagai sahabat sedangkan kata “ sophia “ yang memiliki arti sebagai kebijaksanaan atau kearifan atau kebenaran[5]. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa falsafah itu berasal dari kata “ phila “ yang memiliki arti mengutamakan, lebih menyukai atau pecinta sedangkan kata “ sophos “ yang memiliki arti hikmah atau kebijaksanaan[6] dan ada juga mengatakan bahwa falsafah itu berasal dari kata “ filosofia “ dalam bahasa Yunani, kata tersebut merupakan kata majemuk terjadi dari kata “ filo “ yang berarti cinta dalam arti seluas-luasnya, sedangkan kata “ sofia “ yang berarti pandai, tahu dengan mendalam[7]. Maka dari itu kata falsafah merupakan hasil Arabisasi suatu mashdar yang berarti kerja atau pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dengan demikian secara etimologis berfilsafat itu berarti mencinta kebijaksanaan ( love of wisdom ) dalam arti yang sedalam-dalamnya dan cinta disini tidak hanya berarti menyukai tetapi juga memiliki, sedangkan pelakunya disebut philosophos dalam bahasa Arab disebut dengan failasuf atau al-hakim dan dalam bahasa Indonesia disebut filusuf, dalam bahasa Latin disebut philosophia. dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut philosophie. Seorang pecinta kepada Ilmu Pengetahuan adalah orang yang menjadikan Ilmu Pengetahuan itu sebagai usaha dan tujuan hidupnya atau dengan kata lain orang yang selalu mengabdikan dirinya kepada Ilmu Pengetahuan[8]. Orang yang demikian ini disebut philosophia atau failasuf atau al-hakim dan filusuf  yaitu seorang yang mencintai kebenaran sehingga berupaya untuk memperoleh dan memilikinya atas kebenaran itu sendiri. Maka yang dimaksud dengan filsafat disini adalah philoshophy as love of wisdom artinya : “ mencintai kebijaksanaan atau sahabat Ilmu Pengetahuan atau mempunyai pengertian yang mendalam dan kebenaran “[9].

          Pada dasarnya belajar filsafat adalah sebuah proses mempelajari aktivitas berfikir manusia, bahkan filsafat adalah aktivitas berfikir itu sendiri[10], artinya dengan pembuktian yang dapat diterima oleh akal dengan  susun-menyusun serta hubung-menghubung secara bertanggung jawab dan hasil dari pembuktian itu dinamakan “ filsafat “[11].

          Kata filsafat pertama kalinya dalam sejarah dipergunakan oleh Pythagoras abad ke-6 SM tepatnya pada tahun  582-496 Sebelum Masehi, artinya filsafat pada saat itu belum begitu jelas, kemudian pengertian filsafat itu diperjelas seperti halnya yang banyak dipakai sekarang ini pertama kali dipergunakan oleh kaum sophist, Socrates dan Plato abad ke -5 SM tepatnya pada tahun 470 -399 Sebelum Masehi nama “ filsafat “ dan “ filsuf “ sudah lazim dipakai[12]. Sebenarnya sebelum Socrates mempopulerkan nama filsafat ada satu kelompok yang menyebut dirinya kaum sophis ( sophist ) yang berarti para cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran  ( kebenaran, hakikat ) dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam  kesimpulan-kesimpulan mereka. Sehingga secara bertahap kata          “ sophis “   ( sophist, sophistes ) itu kehilangan arti aslinya dan kemudian menjadi arti seseorang menggunakan               hujjah-hujjah yang keliru. Dengan demikian, kita mempunyai istilah menjadi “ sophistry “ artinya cara berfikir yang menyesatkan, dan mempunyai asal kata yang sama dalam bahasa Arab dengan kata “ safsathah “ . Sockrates, karena kerendahan hati dan mungkin juga keinginan untuk menghindarkan pengidentifikasian dengan kaum Sophis melarang orang yang menyebut dirinya seorang sophis, seorang cendekiawan. Oleh karena itu, Sockrates menyebut dirinya adalah seorang filosof ( philosophos ), pecinta kebijaksanaan, pecinta kebenaran, menggantikan sophists yang berarti sarjana, dan gelaran yang terakhir ini merosot derajatnya menjadi orang yang menggunakan penalaran yang salah sehingga filsafat ( philosophia ) di kemudian hari menjadi sama artinya dengan kebijaksanaan ( kearifan ) oleh karena itu filosof ( philosophos ) sebagai satu istilah tehnis yang tidak dipakai pada seorang sebelum Sockrates[13]. Sebagai protes kesombongan mereka Sockrates lebih suka menyebut dirinya “ pecinta kebijaksanaan “ artinya orang yang ingin mempunyai pengetahuan yang luhur ( Sophia ) itu. Mengingat keluhuran pengetahuan yang dikerjakannya itu maka Sockrates tak mau berkata bahwa ia telah mempunyai, memiliki atau menguasainya[14].

          Dari pengertian filsafat atas secara etimologi dapat di artikan sebagai :

1 . Cinta kepada kebijaksanaan ( love of wisdom ).

2 . Cinta kepada kepandaian atau Ilmu Pengetahuan.

3 . Cinta kepada kebenaran.

4 . Keinginan yang mendalam untuk mencari atau mendapatkan kebijaksanaan, kebenaran,kepandaian atau Ilmu Pengetahuan.

5 . keinginan untuk pandai, bijak dan yang sejenisnya[15].


[1] . Endang Saifuddin Anshari ( 1992 ). Kuliah al-Islam, Jakarta : Rajawali,      hal : 19.

[2] . Murtadha Muthahari ( Terj ) A. Rifa’I Hasan dan Yuliani ( 1993 ). Tema-tema Penting Filsafat Islam, Bandung Yayasan Muthahari, hal : 11, Hasbullah Bakry  ( 1981 ). Sistimatik Filsafat, Jakarta : Wijaya, hal : 7.

[3] . Lasiyo dan Yuwono ( 1985 ). Pengantar Ilmu Filsafat, Jogyakarta : Liberty, hal : 1, Suparlan Suharto ( 2005 ). Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jogyakarta : Ar-Ruzz, hal : 42,  Surajiyo ( 2005 ). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta : Bumi Aksara, hal : 1,  Sutardjo A. Wiramihardja ( 2006 ). Pengantar Filsafat, Bandung : Refika Aditama, hal : 9, E. Sumaryono  ( 1994 ). Pengantar Filsafat, Jogyakarta : Universitas atma Jaya, hal : 7, Wajiz Anwar ( 1979 ). Nilai Filsafat Dalam Dunia Modern Dewasa ini, Bandung : Alumni, hal : 24.  

[4] . The Liang gie ( Terj ) Ali Mudhofir ( 1979 ). Suatu Konsepsi Kea rah Penerbitan Bidang Filsafat, Jogyakarta : Karya Kencana, hal : 5.

[5] . Murtadha Muthahari ( Terj ) A. Rifa’I Hasan dan Yuliani ( 1993 ). Op. cit,  hal : 11, Mas Soebagio dan Slamet Supriatna ( 1992 ). Dasar-dasar Filsafat suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta : Akademika Presindo, hal : 11, Inu Kencana Syafi’i ( 2004 ). Pengantar Filsafat, Bandung : Refika Aditama, hal : 1, Jan Hendrik Rapar ( 1996 ). Pengantar Filsafat, Jogyakarta : Kanisius, hal : 14. Hasan Bakti Nasution ( 2001 ). Filsafat Umum, Jakarta : Gaya Media Pratama, hal : 1.

[6] . K. Bertens ( 1999 ). Sejarah Filsafat Yunani, Jogyakarta : Kanisius, hal : 17, G.W. Bawengan ( 1983 ). Sebuah Studi Tentang Filsafat, Jakarta : Pradnya Paramita, hal : 7.

[7] . Poedjawijatna ( 1980 ). Membimbing kearah Filsafat, Jakarta : Pembangunan, hal : 1, Asmoro Ahmadi ( 2001 ). Filsafat Umum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hal : 1.

[8] . A. Masykur Anhari ( 1992 ). Filsafat Sejarah dan Perkembangannya dari Abad ke Abad, Jakarta : Karya Remaja, hal : 5.

[9] . Abdul Rozak dan Isep Zainal Arifin ( 2002 ). Filsafat Umum, Bandung : Gema Media Pusakatama, hal : 23.

[10] . Muhammad Muslih ( 2005 ). Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis, Jogyakarta : Belukar, hal : 11.

[11] . M.J. Langeveld ( Terj ) G.J. Claessen ( 1955 ). Menuju Kepemikiran Filsafat, Jakarta : Pembangunan, hal : 9-10.

[12] . Lasiyo dan Yuwono ( 1985 ). Op.cit, hal : 1,  K. Bertens ( 1999 ). Op.cit,    hal : 17-18 dan Jan Hendrik Rapar ( 1996 ). Loc.cit.

[13] . Murtadha Muthahari ( Terj ) A. Rifa’i Hasan dan Yuliani ( 1993 ). Op. cit,  hal : 11-12.

[14] . Burhanuddin Salam ( 2005 ). Pengantar Filsafat, Jakarta : Bumi Aksara,    hal : 46-49.

[15] . Abdul Rozak dan Isep Zainal Arifin ( 2002 ).  Op.cit,  hal : 7-8.

A. Ruang lingkup mempelajari akhlak

       Dengan memperhatikan definisi ilmu akhlak secara seksama, maka akan tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah tentang perbuatan-perbuatan manusia secara kategorisnya apakah suatu perbuatan itu tergolong baik atau buruk. Ilmu Akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tersebut tergolong baik atau buruk. Dengan demikian, maka obyek pembahasan ilmu akhlak itu berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Untuk menilai sesuatu baik atau buruk, maka kita menggunakan ukuran yang bersifat normatif. Untuk menilai sesuatu benar atau salah, maka kita menggunakan kalkulasi yang digunakan oleh akal fikiran.

       Karena ilmu akhlak sebagai ilmu yang berdiri maka banyak para pemikir dan cendekiawan yang membidangi serta mengkajinya antara lain : Muhammad Ghozali dalam kitabnya : ” Khuluq al-Muslim ( Akhlak orang Muslim ) ”, Ahmad Amin dalam kitabnya : ” Al-Akhlaq ( Ilmu Akhlaq ) ” . Akan tetapi sebelumnya dapat pula kita jumpai Abu Ali al-Khozin Ahmad Ibnu Muhammad bin Ya’kub atau yang lebih terkenal dengan Ibn Miskawaih dalam kitabnya : ” Tahdzib al-Akhglaq ( Pendidikan Akhlaq ) ” dan Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid al-Ghozali dalam kitabnya : ” Ihya’ Ulum ad-Din ( menghidupkan Ilmu-ilmu Agama ) ”. Selain itu Murtadha Muntahari dalam kitabnya : ” Falsafah Akhlaq ” serta Mustofah Zuhri dalam bukunya : ” Kunci Memahami Ilmu Tasawuf ” dan lain-lain. Dengan mengemukakan beberapa literatur tersebut diatas, telah membuktikan bahwa keberadaan ilmu akhlak sebagai disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti tafsir, taukhid, fiqih, sejarah Islam dan sebagainya.

       Maka dari pokok masaalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah ” perbuatan manusia ”. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kreterianya apakah baik atau buruk. Dalam kaitan dengan ini Ahmad Amin mengatakan : ” Obyek ilmu akhlak adalah membahas perbuatan manusia, selalu menentukannya mana yang baik dan mana yang buruk[1]. Sedangkan Muhammad al-Ghozali menjelaskan bahwa kawasan pembahasan Ilmu Akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu ( perseorangan ) maupun kelompok[2]. Jadi, ilmu akhlak tidak hanya membahas tingkah laku yang bersifat individual, melainkan juga tingkah laku yang bersifat sosial atau dengan kata lain ” ada akhlak yang bersifat perorangan dan ada pula akhlak yang bersifat kolektif ”.

       Dengan memperhatikan uraian tersebut diatas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ilmu akhlak adalah ilmu yang mengkaji suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dalam keadaan sadar, atas kemauannya sendiri, tidak dipaksakan, secara sungguh-sungguh dan sebenarnya, serta bukan perbuatan yang pura-pura atau bersandiwara. Untuk menilai apakah perbuatan itu baik ataukah buruk diperlukan tolak ukur, yaitu baik dan buruk menurut siapa dan apa ukurannya.

B. Tujuan mempelajari Akhlak

       Sebenarnya manusia itu mampu untuk menyelidiki gerakan jiwanya, perkataan dan perbuatannya, lalu memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Maka dengan mempelajari ilmu akhlak, manusia akan mampu mengekspresikan perbuatan, tingkah laku, perkataan yang yang baik dan bijak. Sebenarnya pelajaran akhlak merupakan penjabaran dari takwa sebagai manifestasi penerapan akidah dan praktik ibadah, sehingga dengan mempelajarinya manusia diharapkan mampu mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk menuju ridha Allah Saw. Apa yang dilakukan oleh manusia mungkin bersangkutan dengan dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. Setelah manusia mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, kemudian diresapkan di dalam hati sehingga perbuatannya akan timbul dari kesadaran sendiri, bukan paksaan dari luar. Lalu seseorang itu akan tersadar bahwa dirinya adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial. Sebagaimana Ahmad Amin mengatakan :

” Dengan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya, kita lalu dapat memilih mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat dholim termasuk perbuatan buruk, membayar hutang kepada pemiliknya termasuk baik, sedangkan mengingkari utang termasuk perbuatan buruk ”[3].

 Adapun tujuan mempelajari akhlak adalah untuk membersihkan kalbun dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur Cahaya Tuhan[4].

Dari paparan tersebut diatas telah menunjukkan kepada kita bahwa ilmu akhlak berfungsi memberikan panduan kepada manusia agar mampu menilai dan menentukan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Setelah mengetahui hal-hal yang baik, maka seseorang terdorong untuk melakukannya dan mendapatkan manfaat darinya, akan tetapi sebaliknya setelah mengetahui hal-hal yang buruk, maka seseorang terdorong untuk meninggalkannya. Selain itu, ilmu akhlak juga berguna untuk membersihkan diri manusia dari perbuatan dosa dan maksiat. Manusia memiliki unsur jasmani dan rohani. Aspek jasmani kita bersihkan secara lahiriah melalui ” fiqih ”, sedangkan aspek ruhani kita bersihkan secara bathiniah melalui ” akhlak ”. Jika hal ini tercapai, maka manusia akan memiliki kebersihan batin yang bisa melahirkan perbuatan terpuji. Dari perbuatan terpuji lalu terciptalah masyarakat damai, harmonis, rukun dan sejahtera lahir dan batin, serta bahagia di dunia dan akhirat. 

C. Faedah mempelajari Akhlak

       Ilmu akhlak atau akhlak yang mulia itu berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusiadi segala bidang. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan tehnologi modern dan berakhlak mulia tentu saja akan memanfaatkan ilmunya untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan tehnologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan dan sebagainya namun tidak diserta dengan akhlak yang mulia, maka dia akan menyalahgunakan apa yang dimilikinya dan menimbulkan bencana di muka bumi ini.

       Maka dari itu faedah akhlak bukan hanya dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perseorangan, berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat dan bernegara. Manusia tanpa akhlak akan kehilangan derajat kemanusiaannya, bahkan akanb lebih rendah derajatnya dari pada binatang.

       Apabila aktivitas akal manusia tidak dibimbing dengan akhlak yang mulia, maka kehancuran dalam masyarakat tidak dapat dibendung lagi. Akal dangan modal tanpa moral tidak akan menyejahterakan manusia, melainkan sebaliknya justru akan menghancurkan manyarakat serta menimbulkan kerusakan baik di daratan maupun di lautan, karena ulah manusia yang tidak bermoral. Dengan mempelajari, menghayati serta mengamalkan ilmu akhlak diharapkan manusia mampu untuk mengendalikan diri, memperhatikan kepentingan orang lain, penuh tenggang rasa, mampu memupuk rasa persatuan dan kesatuan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Kesemuanya ini memerlukan penanaman iman dan takwa kepada Allah Swt.

       Suatu umat atau bangsa yang tinggi ilmunya akan tetapi rendah akhlaknya, maka kehidupannya akan kacau balau dan berantakan sebagaimana hal ini dinyatakan oleh salah seorang penyair bernama Syauqi beik yang berbunyi :

اِنَّمَا الاْ ُمَمُ الاْ َخْلاَقُ مَابَقِيَتْ * فَاِنْ هُمُ ذَهَبَتْ اَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا

Artinya : “ Sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka masih mempunyai akhlak yang mulia; Maka apabila akhlak yang mulia itu telah hilang maka hancurlah bangsa itu “[5].

 Untuk menghindari kehancuran suatu bangsa, masyarakat ( khususnya para pemimpin yang menjadi suri tauladan ) harus berusaha mempraktekkan akhlak dan moralitas yang baik. Sebagaimana firman Allah Swt surat al-Ra’d ( 13 ) ayat 11 yang berbunyi :

اِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِاَنْفُسِهِمْ وَاِذَا اَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مَرَدَّلَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ وَّالٍ   

Artinya : ” Sesungguhnya Allah tidak akan merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia “[6].

        Dengan demikian ilmu akhlak diperlukan untuk memberantas penyakit kejahatan, kekejian, kemungkaran, kedholiman, kemaksiatan, pemerasan dan segala keburukan lainnya yang ada pada diri manusia.


[1] . Ahmad Amin ( 1967 ). Op. cit, hal : 2.

[2] . Muhammad al-Ghozali ( Terj ) Moch. Rifa’I ( 1993 ). Akhlak seorang Muslim, Semarang : Wicaksana, hal : 68.

[3] . Ahmad Amin ( 1967 ). Op. cit, hal : 1.

[4] . Mustafa Zuhri ( 1995 ). Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Bina Ilmu, hal : 67.

[5] . Rachmat Djatnika ( 1992 ). Op.cit, hal : 15.

[6] . Depag RI ( 1982 ). Op.cit, hal : 370.

       Dilihat dari segi terminologi “ Akhlak “ (أَخْلاَقٌ  ) terdapat beberapa pakar yang berpendapat antara lain :

a. Abu Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ya’qub Miskawaih :

 حَالُ لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ لَهَا اِلَى اَفْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَلاَرُوِيَةٍ 

 Artinya : “ Akhlak ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pemikiran terlebih dahulu “ [1].

 b. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali :

اَلْخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةً عَنْهَا تَصْدُرُ     الاْ َفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ

Artinya : “ Suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat memunculkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran “[2].  

 c. Ibrahim Anis :

حَالُ لِلنَّفْسِ رَاسِخَةُ تَصْدُرُ عَنْهَا الاَعْمَالُ مِنْ خَيْرٍ اَوْ شَرِّ حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ

Artinya : “ Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang melahirkan bermacam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan “[3].

 d. Ahmad Amin :

عَرَّفَ بَعْضُهُمْ الْخُلُقَ بِأَنَّهُ عَادَةُ الاِْرَادَةِ يَعْنِى أَنَّ الاِْرَادَةَ اِذَا اِعْتَادَتْ شَيْأً فَعَادَتُهَا هِيَى الْمُسَمَّاةُ بِالْخُلُقِ

Artinya : “ Sementara orang membuat definisi akhlaq, bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak “[4].

 e. Al-Qurthuby :

مَاهُوَ يَأْخُذُبِهِ الاِْنْسَانُ نَفْسُهُ مِنَالاْ َدَبِ يُسَمَّى خُلُقًا, لأَِنَّهُ يَصِيْرُ مِنَ الْخِلْقَةِ فِيْهِ             

Artinya : “ Suatu perbuatan manusia yang bersumber dari        adab-kesopanannya disebut akhlak, karena perbuatan termasuk bagian dari kejadiannya “[5].

f. Muhammad bin I’laan Ash Shodieqy

اَلْخَلْقُ مَلَكَةٌ بِالنَّفْسِ يَقْتَدِرُ بِهَا عَلَى صُدُوْرِ الأُفْعَالِ الْجَمِيْلَةِ بِسُهُوْلَةٍ

Artinya : “ Akhlak adalah suatu pembawaan dalam diri manusia, yang dapat menimbulkan perbuatan baik, dengan cara yang mudah ( tanpa dorongan dari orang lain ) “[6].

g. Muhammad Abdullah Dirros :

“ Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar ( dalam hal akhlak yang baik ) atau pihak yang jahat ( akhlak yang jahat ) “ . Selanjutnya perbuatan-perbutan manusia yang dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dengan dua syarat, yaitu :

Pertama, Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan.

Kedua, Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan    emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang dating dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah danlain sebagainya[7].  

Dalam perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan, tujuan, rujukan, aliran dan para tokoh yang mengembangkannya. Kesemua aspek yang terkandung dalam akhlak ini kemudian membentuk suatu kesatuan yang saling berhubungan dan membentuk suatu ilmu.

Berkenaan dengan ilmu akhlak ini terdapat beberapa definisi oleh para ahli antara lain sebagai berikut :

1 . Ibrahim Anis :

اَلْعِلْمُ مَوْضُوْعَةُ اَحْكَامُ قِيْمَتُهُ تَتَعَلَّقُ بِهِ الاَعْمَالُ الَّتِى تُوْصَفُ بِالْحَسَنِ وَالْقُبْحِ

Arinya : “ Ilmu yang obyek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat di sifatkan dengan baik dan buruk “[8].

2 . Abd. al-Hamid Yunus :

اَلْعِلْمُ بِالفَضَائِلِ وَكَيْفِيْفِيَةِ اِقْتِنَائِهَا لِتتَتَحَلَّى النَّفْسً بِهَا وَبِاارَّذَائِلِ وَكَيْفِيْفِيَةِ تَوْقِيْهَا لِتتَتَحَلَّى عَنْهَا

Artinya : “ Ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara mengikutinya hingga jiwa terisi dengannya dan tentang keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa kosong dari padnya “[9].

3 . Rachmat Djatnika :

Ilmu akhlak mengandung hal-hal sebagai berikut :

1. Menjelaskan pengertian “ baik dan buruk “ .

2. Menerangkan apa yang harus dilakukan oleh seseorang atau sebagian manusia terhadap sebagian yang lainnya.

3. Menjelaskan tujuan yang sepatutnya dicapai oleh manusia dengan perbuatan-perbuatan manusia itu.

4. Menerangkan jalan yang harus dilalui untuk berbuat[10].

 4 . Barmawie Umary :

Ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia, lahir dan batin[11].

        Dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tabiat, sifat seseorang atau perbuatan manusia yang bersumber dari dorongan jiwanya yang sudah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar sudah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan serta di angan-angan lagi. Maka dari itu  gerakan refleks, denyut jantung dan kedipan mata itu tidak dapat disebut sebagai akhlak, karena gerakan tersebut tidak diperintah oleh unsur kejiwaan. Sebab akhlak merupakan           ” kehendak ” dan ” kebiasaan ” manusia yang menimbulkan kekuatan-kekuatan yang sangat besar untuk melakukan sesuatu. Kehendak merupakan keinginan yang ada pada diri manusia setelah dibimbing, dan kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah untuk melakukannya. Oleh karena itu faktor kehendak atau kemauan memegang peranan yang sangat penting sebab dengan adanya kehendak tersebut telah menunjukkan adanya unsur ikhtiar dan kebebasan, yang karenanya dapat disebut dengan ” akhlak ”[12].

Maksud dengan sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan serta di angan-angan lagi, disini bukan berarti bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja atau tidak di kehendaki. Maka perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu benar-benar sudah merupakan ” azimah ” yakni kemauan yang kuat tentang sesuatu perbuatan, oleh karenanya jelas bahwa perbuatan itu memang sengaja di kehendaki adanya.  Hanya saja keadaan yang demikian ini dikakukan secara kontinyu, sehingga sudah menjadi adat / kebiasaan untuk melakukannya, karenanya timbullah perbuatan itu dengan mudah tanpa difikirkan lagi, begitu juga karena bentuknya tidak kelihatan sehingga dapat dikatakan bahwa “ Akhlak “ (   أَخْلاَقٌ) adalah nafsiah ( bersifat kejiwaan ) atau maknawiyah ( sesuatu yang abstrak ), sedangkan bentuknya yang kelihatan dinamakan mu’amalah ( tindakan ) atau suluk                         ( prilaku ) maka dari itu bentuknya akhlak adalah sumber dan prilaku tersebut.

Dengan demikian secara substansial bahwa perbuatan yang termasuk akhlak mempunyai lima ciri antara lain :

1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadian.

2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.

3. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

4. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara, seperti dalam film.

5. Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak ( khusus akhlak yang           baik ) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah Swt, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian [13].

 


[1] . Abu Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ya’qub Miskawaih ( 1934 ). Tahdzib                al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq, Mesir : al-Mathba’ah al-Misriyah, hal : 40

[2] . Abu Hamid Muhammad al-Ghozali ( t.t ). Ikhya’ Ulumuddin, III, Bairut : Darul Fikr, hal : 56.

[3] . Ibrahim Anis ( 1972 ). al-Mu’jam al-Wasith, Mesir : Dar al-Ma’arif,                 hal : 202.

[4] . Ahmad Amin ( 1967 ). Kitab al-Akhlaq, Kairo : an-Nahdlah al-Misriyah,           hal : 50.

[5] . al-Qurtuby ( 1913 ). Tafsir al-Qurtuby, Juz VIII, Kairo : Daarus Sya’by,             hal : 6706.

[6] . Muhammad bin Ilaan Ash-Shiddiqy ( 1971 ). Dalilul Faalikhin, Juz III, Mesir : Mustofa al-Babil al-Halaby, hal : 76.

[7] . Humaidi Tatapangarsa ( 1979 ). Pengantar Kuliah Akhlak, Surabaya : Bina Ilmu, hal : 10.

[8] . Ibrahim Anis ( 1972 ). Op.cit, hal : 202.

[9] . Abd. Hamid Yunus ( T.th ). Op. cit, hal : 436-437.

[10] . Rachmat Djatnika ( 1992 ). Sistem Ethika Islam ( Akhlak Mulia ), Jakarta : Pustaka Panji Masyarakat, hal : 31.

[11] . Barmawie Umary ( 1991 ). Materia Akhlak, Solo : Romadhani, hal : 1.

[12] . M. Zein Yusuf ( 1993 ). Akhlak Tasawuf, Semarang : al-Husnah, hal : 7.

[13] . Abuddin Nata ( 2006 ). Akhlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo Persada,  hal : 4-6.

Dilihat dari sudut etimologi perkataan “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) berasal dari bahasa Arab jama’ dari “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) yang menurut lughat diartikan adat kebiasaan ( al-adat ), perangai, tabi’at ( al-sajiyyat ), watak ( al-thab ), adab / sopan santun ( al-muru’at ), dan agama ( al-din ) . Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “ Khalqun “ ( خَلْقٌ ) yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan “ Khaliq “ ( خاَلِقٌ ) yang berarti pencipta dan “ makhluq “ ( مَخْلُوْقٌ ) yang berarti yang di ciptakan dan dari sinilah asal mula perumusan ilmu akhlak yang merupakan koleksi ugeran yang memungkinkan timbulnya hubungan yang baik antara Makhluk dengan Khaliq dan antara Makhluk dengan makhluk . Bahkan dalam kitab ” al-Mursyid al-Amin Ila Mau’idhah al-Mu’min ” telah dijelaskan perbedaan antara kata ” al-Khalqu ” ( اَلْخَلْقُ ( dengan kata ” al-Khuluqu ” ( اَلْخُلُقُ ( sebgai berikut :
يُقَالُ : فُلاَنَ حَسَنِ الْخَلْقِ وَالْخُلُقِ : اَى حَسَنُ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ, فَحُسْنُ الظَّاهِرِ هُوَ الْجَمَالُ كَمَا عَرَفْتُ, وَ حَسَنُ الْبَاطِنِ هُوَ غَلَبَةُ الصِّفَاتِ الْجَمِيْدَةِ عَلَى الْمَذْمُوْمَةِ
Artinya : “ Dikatakan : Fulan itu baik kejadiannya dan baik budi pekertinya ” , maksudnya baik lahir dan batinnya. Yang dimaksud ” baik lahir ” yaitu baik rupa atau rupawan, sedang yang dimaksud ” baik batin ” yaitu sifat-sifat kebaikan ( terpuji ) yang menghalalkan atas sifat-sifat tercela ” .

Jadi jelas bahwa kata ” al-Khalqu ” ( اَلْخَلْقُ ( itu mengandung arti kejadian yang bersifat lahiriah seperti wajah seseorang yang bagus atau yang jelek. Sedangkan kata ” al-Khuluqu ” ( اَلْخُلُقُ ( atau jamak dari “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) itu mengandung arti budi pekerti atau pribadi yang bersifat rohaniah seperi sifat-sifat terpuji atau sifat-sifat tercela . Bahkan Ibnu Athir dalam kitabnya “ An-Nihayah “ telah menerangkan bahwa : “ Hakikat makna khuluqun ( خُلُقٌ) itu ialah gambaran batin manusia yang tepat ( yaitu jiwa dan sifat-sifatnya ), sedang makna khalqun ( خَلْقٌ ) merupakan gambaran bentuk luarnya ( raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan sebagainya ) “ .
Dalam bahasa Yunani pengertian “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) ini dipakai kata ethicos atau ethos, artinya adat kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan, kemudian kata ethicos ini berubah menjadi ethika ( memakai h ) atau ” etika ” ( tanpa h ) dalam istilah Indonesia . Sedangkan dalam pengertian sehari-hari “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) umumnya disamakan artinya dengan arti kata “ budi pekerti “ atau “ kesusilaan “ atau “ sopan santun “ . Angkatan kata “ budi pekerti “, dalam bahasa Indonesia, merupakan kata majemuk dari kata “ budi “ dan “ pekerti “ . Perkataan “ budi “ berasal dari bahasa Sansekerta, bentuk isim fa’il atau alat, yang berarti “ yang sadar “ atau “ yang menyadarkan “ atau “ alat kesadaran “ . Bentuk mashdarnya ( momenverbal ) budh yang berarti “ kesadaran “ . Sedang bentuk maf’ulnya ( obyek ) adalah budha, artinya “ yang disadarkan “ . Pekerti, berasal dari bahasa Indonesia sendiri, yang berarti “ kelakuan “ .
Kata “ budi “ juga dapat diartikan sebagai “ akal “, yaitu alat batin untuk menimbang dan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. “ Budi “ juga dapat diartikan sebagai “ tabi’at “ , “ watak “ , “ perangai “ dan sebagainya. “ Budi “ adalah hal yang berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran, yang juga disebut karakter. “ Pekerti “ dapat diartikan sebagai perbuatan. “ Pekerti “ adalah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh perasaan hati yang disebut juga behaviour. Berkaitan dengan akhlak, dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda dikenal juga istilah “ tata krama “ yang juga dimaksudkan sebagai “ sopan santun “ .
Menurut para ahli masa lalu ( al-qudama’ ), akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan sesuatu perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. dan sering pula yang dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik atau buruk atau dengan kata lain akhlak adalah potensi yang tertanam dalam jiwa seseorang yang mampu mendorongnya untuk berbuat baik dan buruk tanpa di dahului oleh pertimbangan akal dan emosi, maksudnya ialah perbuatan itu sudah menjadi kebiasaaan sehingga menjadi kepribadian . Bahkanah akhlak juga disebut ilmu tingkah laku / perangai ( ilm al-suluk ), atau tahzib al-akhlak ( falsafat akhlak ), atau al-hikmat al-amaliyyat, atau al-hikmat al-hulukiyyat. Yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan dan cara memperolehnya, agar jiwa menjadi bersih dan pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa untuk mensucikannya .
Dengan perumusan pengertian “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ ) di atas muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi adanya hubungan baik antara Khaliq ( خاَلِقٌ ) yang berati pencipta dengan makhluq ( مَخْلُوْقٌ ) yang berarti yang diciptakan secara timbal balik, kemudian disebut sebagai hablum minallah ( حَبْلٌ مِنَ اللَّهِ ). Dari produk hablum minallah ( حَبْلٌ مِنَ اللَّهِ ) yang verbal ini, maka lahirlah pola hubungan antar sesama manusia disebut dengan hablum minannas ( النّاسِ حَبْلٌ مِنَ ) .
Jadi berdasarkan sudut pandang etimologi definisi “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) dalam pengertian sehari-hari disamakan dengan “ budi pekerti “ , kesusilaan, sopan santun, tata karma ( versi bahasa Indonesia ) sedang bahasa Inggrisnya disamakan dengan istilah moral atau ethic. Begitupun dalam bahasa Yunani istilah “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ ) dipergunakan istilah ethos atau ethikos atau etika ( tanpa memakai huruf H ) yang mengandung arti “ Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik “ . Dan etika itu adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran. Sebagaimana dalam kitab “ Da’iratul Ma’arif “ dikatakan bahwa :
اَلأَخْلَاقُ هِيَ صِفَاتُ اْلاِنْسَا نِ َالأَْ دَابِيَّةِ
Artinya : “ Akhlak ialah segala sifat manusia yang terdidik “ .

Memahami ungkapan tersebut diatas dapat dimengerti bahwa “ Akhlak “ (أَخْلاَقٌ ) adalah sifat ( potensi ) yang dibawa setiap manusia sejak lahir : artinya, sifat ( potensi ) tersebut sangat tergantung dari cara pembinaan dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya itu positif maka outputnya adalah akhlak mulia dan sebaliknya apabila pembinaannya itu negatif, yang terbentuk adalah akhlak maz mumah ( tercela ) . Sebagaimana firman allah Swt berfirman dalam surat ( 91 ) Asy Syam ayat 8 yang berbunyi :
فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْۈهَا
Artinya : “ maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu ( jalan ) kefasikan dan ketakwaan “ .

Dilihat dari sudut etimologi perkataan “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) berasal dari bahasa Arab jama’ dari “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) yang menurut lughat diartikan adat kebiasaan ( al-adat ), perangai, tabi’at ( al-sajiyyat ), watak ( al-thab ), adab / sopan santun ( al-muru’at ), dan agama ( al-din ) . Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “ Khalqun “ ( خَلْقٌ ) yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan “ Khaliq “ ( خاَلِقٌ ) yang berarti pencipta dan “ makhluq “ ( مَخْلُوْقٌ ) yang berarti yang di ciptakan dan dari sinilah asal mula perumusan ilmu akhlak yang merupakan koleksi ugeran yang memungkinkan timbulnya hubungan yang baik antara Makhluk dengan Khaliq dan antara Makhluk dengan makhluk . Bahkan dalam kitab ” al-Mursyid al-Amin Ila Mau’idhah al-Mu’min ” telah dijelaskan perbedaan antara kata ” al-Khalqu ” ( اَلْخَلْقُ ( dengan kata ” al-Khuluqu ” ( اَلْخُلُقُ ( sebgai berikut :
يُقَالُ : فُلاَنَ حَسَنِ الْخَلْقِ وَالْخُلُقِ : اَى حَسَنُ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ, فَحُسْنُ الظَّاهِرِ هُوَ الْجَمَالُ كَمَا عَرَفْتُ, وَ حَسَنُ الْبَاطِنِ هُوَ غَلَبَةُ الصِّفَاتِ الْجَمِيْدَةِ عَلَى الْمَذْمُوْمَةِ
Artinya : “ Dikatakan : Fulan itu baik kejadiannya dan baik budi pekertinya ” , maksudnya baik lahir dan batinnya. Yang dimaksud ” baik lahir ” yaitu baik rupa atau rupawan, sedang yang dimaksud ” baik batin ” yaitu sifat-sifat kebaikan ( terpuji ) yang menghalalkan atas sifat-sifat tercela ” .

Jadi jelas bahwa kata ” al-Khalqu ” ( اَلْخَلْقُ ( itu mengandung arti kejadian yang bersifat lahiriah seperti wajah seseorang yang bagus atau yang jelek. Sedangkan kata ” al-Khuluqu ” ( اَلْخُلُقُ ( atau jamak dari “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) itu mengandung arti budi pekerti atau pribadi yang bersifat rohaniah seperi sifat-sifat terpuji atau sifat-sifat tercela . Bahkan Ibnu Athir dalam kitabnya “ An-Nihayah “ telah menerangkan bahwa : “ Hakikat makna khuluqun ( خُلُقٌ) itu ialah gambaran batin manusia yang tepat ( yaitu jiwa dan sifat-sifatnya ), sedang makna khalqun ( خَلْقٌ ) merupakan gambaran bentuk luarnya ( raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan sebagainya ) “ .
Dalam bahasa Yunani pengertian “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) ini dipakai kata ethicos atau ethos, artinya adat kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan, kemudian kata ethicos ini berubah menjadi ethika ( memakai h ) atau ” etika ” ( tanpa h ) dalam istilah Indonesia . Sedangkan dalam pengertian sehari-hari “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) umumnya disamakan artinya dengan arti kata “ budi pekerti “ atau “ kesusilaan “ atau “ sopan santun “ . Angkatan kata “ budi pekerti “, dalam bahasa Indonesia, merupakan kata majemuk dari kata “ budi “ dan “ pekerti “ . Perkataan “ budi “ berasal dari bahasa Sansekerta, bentuk isim fa’il atau alat, yang berarti “ yang sadar “ atau “ yang menyadarkan “ atau “ alat kesadaran “ . Bentuk mashdarnya ( momenverbal ) budh yang berarti “ kesadaran “ . Sedang bentuk maf’ulnya ( obyek ) adalah budha, artinya “ yang disadarkan “ . Pekerti, berasal dari bahasa Indonesia sendiri, yang berarti “ kelakuan “ .
Kata “ budi “ juga dapat diartikan sebagai “ akal “, yaitu alat batin untuk menimbang dan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. “ Budi “ juga dapat diartikan sebagai “ tabi’at “ , “ watak “ , “ perangai “ dan sebagainya. “ Budi “ adalah hal yang berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran, yang juga disebut karakter. “ Pekerti “ dapat diartikan sebagai perbuatan. “ Pekerti “ adalah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh perasaan hati yang disebut juga behaviour. Berkaitan dengan akhlak, dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda dikenal juga istilah “ tata krama “ yang juga dimaksudkan sebagai “ sopan santun “ .
Menurut para ahli masa lalu ( al-qudama’ ), akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan sesuatu perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. dan sering pula yang dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik atau buruk atau dengan kata lain akhlak adalah potensi yang tertanam dalam jiwa seseorang yang mampu mendorongnya untuk berbuat baik dan buruk tanpa di dahului oleh pertimbangan akal dan emosi, maksudnya ialah perbuatan itu sudah menjadi kebiasaaan sehingga menjadi kepribadian . Bahkanah akhlak juga disebut ilmu tingkah laku / perangai ( ilm al-suluk ), atau tahzib al-akhlak ( falsafat akhlak ), atau al-hikmat al-amaliyyat, atau al-hikmat al-hulukiyyat. Yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan dan cara memperolehnya, agar jiwa menjadi bersih dan pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa untuk mensucikannya .
Dengan perumusan pengertian “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ ) di atas muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi adanya hubungan baik antara Khaliq ( خاَلِقٌ ) yang berati pencipta dengan makhluq ( مَخْلُوْقٌ ) yang berarti yang diciptakan secara timbal balik, kemudian disebut sebagai hablum minallah ( حَبْلٌ مِنَ اللَّهِ ). Dari produk hablum minallah ( حَبْلٌ مِنَ اللَّهِ ) yang verbal ini, maka lahirlah pola hubungan antar sesama manusia disebut dengan hablum minannas ( النّاسِ حَبْلٌ مِنَ ) .
Jadi berdasarkan sudut pandang etimologi definisi “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) dalam pengertian sehari-hari disamakan dengan “ budi pekerti “ , kesusilaan, sopan santun, tata karma ( versi bahasa Indonesia ) sedang bahasa Inggrisnya disamakan dengan istilah moral atau ethic. Begitupun dalam bahasa Yunani istilah “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ ) dipergunakan istilah ethos atau ethikos atau etika ( tanpa memakai huruf H ) yang mengandung arti “ Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik “ . Dan etika itu adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran. Sebagaimana dalam kitab “ Da’iratul Ma’arif “ dikatakan bahwa :
اَلأَخْلَاقُ هِيَ صِفَاتُ اْلاِنْسَا نِ َالأَْ دَابِيَّةِ
Artinya : “ Akhlak ialah segala sifat manusia yang terdidik “ .

Memahami ungkapan tersebut diatas dapat dimengerti bahwa “ Akhlak “ (أَخْلاَقٌ ) adalah sifat ( potensi ) yang dibawa setiap manusia sejak lahir : artinya, sifat ( potensi ) tersebut sangat tergantung dari cara pembinaan dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya itu positif maka outputnya adalah akhlak mulia dan sebaliknya apabila pembinaannya itu negatif, yang terbentuk adalah akhlak maz mumah ( tercela ) . Sebagaimana firman allah Swt berfirman dalam surat ( 91 ) Asy Syam ayat 8 yang berbunyi :
فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْۈهَا
Artinya : “ maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu ( jalan ) kefasikan dan ketakwaan “ .

silahkan gabung

Juli 14, 2009

bagi yang ingin bergabung dalam rembuk tentang pendidikan silahkan gabung dengan saya demi kemaslahatan negara, bangsa dan agama